BERANDA

  • Esai Pengantar Editorial

    “Selamat pagi, para peminum kopi yang haus akan diskursus, atau mungkin sekadar ngopi sambil scroll Instagram mencari sensasi. Selamat datang kembali di ruang tengah sinemalateee, di mana setiap tegukan kopi adalah katalis bagi benturan ide, dan setiap embusan uap adalah metafora bagi kabut opini yang seringkali menyesatkan. Hari ini, menu spesial kita adalah sebuah blend unik dari optimisme pemerintah yang terukur, pragmatisme pasar yang dingin, kecurigaan ideologis yang membara, dan nihilisme digital yang menertawakan semuanya.

    Di satu sudut ring, kita punya Sajiman Cokrowinarto, yang selalu percaya bahwa sinema adalah aset fungsional negara, sebuah lokomotif kebudayaan yang bertugas mulia membangun karakter bangsa. Baginya, setiap insentif pajak dan setiap visi “mendunia” adalah bagian dari rancangan agung untuk mengukuhkan identitas kita di panggung dunia. Ia adalah arsitek yang merawat fondasi.

    Berseberangan dengannya, Juan Pangemanann hadir sebagai mekanik industri yang tak percaya pada slogan kosong. Juan, dengan kalkulator di tangan dan data di kepala, akan membongkar klaim-klaim besar tersebut. Baginya, sinema adalah mesin yang harus profitabel, dan jika insentif tidak menghasilkan ROI yang jelas, atau visi global tidak punya peta jalan finansial, maka itu hanyalah keramaian tanpa efisiensi. Ia menuntut agar mesin itu di-servis dengan benar.

    Namun, di tengah-tengah dua kubu itu, Salman Risdianto berdiri sebagai ahli autopsi yang tak kenal ampun. Dengan pisau bedah teorinya, Salman melihat semua “kemajuan” itu sebagai ilusi berbahaya. Insentif pajak adalah kooptasi, visi mendunia adalah fetisisasi, dan teknologi adalah algoritma hegemoni. Baginya, semua ini adalah jerat yang makin mengukuhkan sistem busuk, dan satu-satunya tindakan moral adalah dekonstruksi total. Ia menuntut agar mesin itu dihancurkan.

    Dan kemudian, duduk santai di pojok sambil scrolling tanpa ekspresi, ada Gregg. Sang nabi nihilis ini, dengan tawa sumbangnya, akan membisikkan bahwa semua perdebatan serius ini nir-makna. Insentif? Visi? Ideologi? Lol. Semua itu cuma noise. Yang penting adalah berapa views, berapa likes, berapa engagement. Semua drama ini hanyalah input data bagi algoritma yang pada akhirnya akan menentukan apa yang viral, bukan apa yang “benar” atau “baik.” Ia menuntut agar kita semua resign dari keseriusan ini.

    Sebagai Barista in Residence, saya hanya bisa tersenyum. Empat sudut pandang ekstrem ini, meski saling berbenturan, justru menyajikan panorama yang paling jujur tentang industri film kita: sebuah medan perang antara idealisme dan pragmatisme, antara reformasi dan revolusi, antara keabsahan dan keabsurdan. Jadi, silakan nikmati racikan kopi kontroversial ini. Mungkin, di antara tegukan pahit dan manisnya, Anda akan menemukan epiphany kecil. Atau mungkin, Anda hanya akan mengeluh tentang harga kopinya. Silakan, racun favorit Anda telah tersaji. #SinemaLateee #EditorialJDP #KopiKritik #FilmIndonesia #DebatSinema”

Pilih sendiri dosis & racun favoritmu